kisah tentang manusia #2

 

Pertemuan I

 

            Segalanya akan hilang dan sirna begitu saja, tanpa ada yang mengenangnya. Seperti kabut putih yang menutupi pandangan fanaku. Pasir gunung yang pucat kelabu bertebaran di udara, menyesak pengap pernafasanku. Debu vulkanik menutupi kacamata hitam sama menjengkelkannya dengan kehidupan ini. Dulu seseorang yang sudah lama mati pernah berkata, “ nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua rasa rasanya memang begitu; bahagialah mereka yang mati muda” begitulah adanya kehidupan. Untuk apa kita hidup? Banyak orang yang masih bingung dengan tujuannya dilahirkan ke dunia berengsek ini.

            Hidup tidak pernah berpihak padamu, sekalinya ia mencoba untuk memalingkan wajahnya yang bengis, seperti kumpulan banteng yang siap menyerbu kain merah sang Matador. Dirimu akan terhempas duluan sebelum sempat menghindar. Terhempas dan terinjak, dirimu tak akan selamat diselimuti pasir pegunungan yang sumbar, seperti hatimu.

            Setidaknya ini kali kedua perjalananku kemari,menyepi dari hiruk pikuk dunia sumbar yang biadab, menyatu dengan alam dan menikmati keangkuhannya. Hanya sekadar camping dan menjelajahi spot spot indah yang ada disini. Berpijak  diatas tumpukan pasir kelabu yang muram, dengan ketinggian sekian meter diatas laut menikmati wangi embun di pagi hari, menatap langit mendung berselimut awan cumolonimmbus. Aku masih berjalan menikmati bebatuan dan pohon kering, menyatu dengan kesederhanaan alam. Dalam kondisi 13 derajat celsius di rest area. Tubuh sombongku masih keukeuh angkuh tak melepas jaket kesayanganku yang melekat di pinggang. Dataran tinggi kelabu yang berkabut ini tak begitu banyak orang yang menyinggahi. Beberapa pendaki yang menikmati masa mudanya sembari mengibarkan bendera yang mereka banggakan. sekumpulan mahasiswa pencinta alam yang sedang menghabiskan masa-masa mudanya bercengkrama dengan lingkungan dan menikmati sejuknya pegunungan. Beberapa pedagang di kaki bukit yang selalu sibuk berbincang tentang kehidupan yang asin dan pahit. Dunia yang sempit pikirku, kemana pun pergi manusia tetap membicarakan dan melakukan hal-hal yang serupa seolah tak ada pembahasan lain.

            Dari kepulan kabut putih seorang kakek tua dengan pakaian kolotnya meghampiriku sembari tersenyum ramah “kopinya den… biar gak kedinginan, lima ribu aja.” kakek tua dengan kupluk abu-abu dan kemeja lusuh dibalut oleh rompi kumal dan syal yang Nampak compang camping. Ikut duduk disampingku sembari menawarkan minuman hangat dan snack pengganjal perut. “tolong kopi capucinonya satu pak.” Sahutku sembari menyunggingkan sedikit senyum dan mengambil beberapa snack yang ia tawarkan dengan harga yang tak pernah wajar bagi mereka yang tak memahi perjuangan. Terbanyang olehku seberapa berat perjalanan yang harus kakek ini lewati untuk sampai kesini setidaknya. Jalan yang terjal penuh bebatuan, tebing curam yang tandus dan pandangan yang tak jelas terhalang kabut putih yang menyebalkan. Aku merasa kasian sekaligus takjub dengan perjuangannya untuk sampai ke sini. Uang tiga puluh lima ribu yang ku keluarkan untuk membayar segelas kopi capucino dan beberapa snack yang ia jajakan rasanya belum cukup untuk membayar usahanya untuk sampai kesini.

             “sudah lama pak jualan disini?” sapa-ku mencoba mengisi suasana yang beku diantara kami,

            Wajahnya tertunduk seperti mencari cari serpihan kenangannya yang bertebaran di gundukan pasir kelabu.  “kakek gak ingat berapa lama dagang disini. Dari masih bujangan sampe sekarang udah bau tanah pasti lama sekali Kebetulan rumah kakek deket jadi pulang pergi gak jauh” sahutnya padaku sembari tersenyum  begitu lega dengan matanya yang berbinar seolah ingin berkata hidupku sudah begitu lama.

 tubuhku masih terpaku dengan semua yang ada dihadapanku. Kakek tua yang tangguh, belantara megah dengan segala keindahan dan kemistismewaannya, langit yang begitu perkasa dan angkuh dengan semua kecantikan yang ia miliki. Berbanding terbalik dengan semua jalan cerita hidupku yang pahit dan pedas. Seperti kopi hitam yang tak pernah ku pesan. “pak. Kalau boleh saya tanya, apa bapak pernah merasa kecewa dilahirkan dengan menanggung semua takdir yang tuhan berikan kepada bapak? Sebelumnya maaf perntanyaan saya bukan bermaksud untuk mengejek atau merendahkan bapak tapi saya sedang mencari jawaban dari semua permasalahan yang menimpa saya. Saya harap bapak dapat menjawab pertanyaan saya dengan lapang hati tanpa merasa risih atau direndahkan.” Mulutku tiba-tiba membredel tanpa memikirkan apa apa. Menyoalkan kehidupan orang lain yang tak seharusnya ku pertanyakan. Semua kata kata itu tiba tiba saja keluar dari mulutku.

            Ditengah suhu 13 derajat celcius wajah kakek tua itu tersenyum bijak, kurasa dia mengerti dengan semua yang kukatakan. Tubuhnya tiba tiba menegak dan cuping hidungnya melebar menarik nafas dalam-dalam dengan tubuh renta yang ia miliki, aku merasa sedikit tak tega harus menanyakan hal serumit ini padanya. “aden sedang kebingungan ya?” tanyanya menelisik gelisah yang tertanam dalam diriku.

“Den… setiap orang pasti pernah atau akan merasa hal yang sama dengan aden, bingung dengan arah hidup, kecewa dengan nasib yang tuhan berikan bahkan gak sedikit yang milih buat bunuh diri. Tempat ini saksinya den, kakek sendiri saksi hilangnya nyawa pemuda yang kebingungan, kecewa karna terlahir dari keluarga miskin yang tak sanggup memberikan apa apa, bahkan kakek masih ingat jelas wajah dan kata-kata terakhir pemuda itu.” Wajah kakek itu memandang sebuah pohon kering dengan sayu, matanya sedikit berkaca seolah ada perasaan bersalah yang berkecamuk di dalam dirinya.

“ Bagi kakek sendiri, kekecewaan terhadap hidup adalah bentuk cemoohan kita terhadap tuhan. Semua yang telah tuhan tuliskan untuk kita harus diterima dengan lapang dada. Apa aden pernah denger hewan mengeluh karna ditakdir kan menjadi hewan? Atau setan yang mengeluh karna ditakdirkan menjadi setan?” wajahnya tersenyum sampai matanya tertutup, aku tak sanggup berkata hanya sanggup menundukan kepala.

 Wajah tua-nya mendongkak langit tubuh renta kakek itu dengan segala kerut dan keriputnya yang khas. Senyum di pipinya tak pernah lepas sejak kami berbicara, sejenak kakek itu seperti menjelma seorang sufi, semua kebijaksanaannya begitu cerah seperti mentari yang menembus kabut. “den… pesan kakek cobalah dekat sama orang orang shalih dan coba lebih mengenal tuhan, pergi ke tempat seperti ini pun bukan sebuah kesalahan. Tapi kakek harep aden bisa menghadapi semua masalah yang ada dihadapan aden, menghindari masalah bukan solusi tapi setiap orang butuh waktu untuk berfikir dan menjernihkan pikiran. Yakini saja tempat ini akan membimbing aden menajdi diri yang lebih sempurna dan lebih bebas.” Senyumnya yang tertutup kabut tipis melekat di pikiranku, wajah keriput dan tua nya pun jelas terekam dalam otak kecil ini. Setelah berbincang hingga kopi yang ku pesan habis, kakek itu pamit pergi. Sahutnya sudah masuk waktu untuk ibadah, punggung rentanya dengan kotak asongan yang ia kalungkan ke pundak lambat laun menghilang ditelan kabut.menyisakan gelas kosong, kemasan snack, sekar rokok yang bertebaran di pasir, dan diriku yang sendirian menatapi semesta

Komentar

  1. Nice ceritanya kak, keren... pesan tersirat di cerpennya ngena... 😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer