kisah lain tentang manusia

 

Pertemuan III

 

            Hari kedua di tempat ini. Perjalanan 8 jam kemarin yang ku tempuh untuk sampai ditempat ini dengan susah payah. disengat lebah, melewati rawa hitam yang penuh lumpur dan bangkai kayu yang berserakan diatasnya. tebing curam yang licin berbatu dan bangkai pohon yang ambruk menghalangi jalan. Wajah-wajah sunyi belantara yang kaku dan bisu tanpa kata kata ini menemani perjalnanku. Setiap emosi dan raut wajah belantara yang sunyi ini seakan ingin menyampaikan sesuatu.

Terbangun pada dini hari menghadapi dinginnya dataran tinggi. Diluar sana hamparan milkyways yang megah, rayu pepohonan akasia dan angin genit menyambutku. Keheningan yang damai jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk dunia muram di bawah sana. Bercak bercak peradaban yang bersinar dibawahku begitu tak berdaya dan lemah dari atas sini. Api unggun dan segelas capucinno sachet setia menemani. Bercengkrama dan menatap megahnya angkasa. Bernostalgia dengan perasaan yang tak pernah pudar.

Menyambut subbuh yang terasa menusuk hingga ke tulang. Sebelum fajar kala itu, kabut masih mengepul tinggi dan kebanyakan pendaki pun masih terlelap dalam mimpi indah masa muda. Sisa sisa pembakaran dan pesta anak anak muda berserakan. Kaleng seng bertuliskan minuman berakohol dan beberapa botol kaca dengan nama dan merek yang tak asing di mata. Puntung rokok dan gelas plastic berserakan. Memang tidak semua pendaki memiliki kebiasaan buruk tapi yang ku temui kali ini. Tidak hanya merusak alam, mereka juga merusak diri sendiri dan masa mudanya. Biarpun saat ini mereka menganggap hal itu sebagai pencapaian yang bagus dan sebuah kenangan yang indah. Beberapa tahun kedepan setelah mereka berkeluarga  yang mereka dapatkan hanyalah rasa malu dan resah dengan semua kenangan konyolnya.

            Diluar tidak banyak pendaki yang sudah terbangun dan menikmati udara basah dini hari. Ponselku menunjukan angka nol, dua lebih tiga belas. bulan masih benderang dan tak redup cahayanya. Ditengah harum tanah yang basah oleh embun, tubuhku yang terbalut jaket parka hijau tua yang sampai malam tadi masih kuikatkan dipinggang. Terjaga dihadapan pembakaran, mendidihkan air hangat yang kusiapkan untuk merebus satu bungkus mie instan rasa kari. Kurasa satu bungkus mie instan cukup membungkam perut kosongku. Masih teringat dengan jelas pesan kakek tua di kaki bukit kemarin. Senyum hangat dan bijaknya bagaikan seorang filsuf ternama. Sebenarnya hingga kini aku masih bingung dengan arah hidupku. Perasaan bersalah yang membakar semangat hidupku, seperti kayu bakar yang disundut api. Akhirnya akan jadi abu jua dan tak bisa kembali jadi kayu.

            Tak banyak tenda disini. Tiga disebelah kiriku diisi murid murid SMA yang datang siang hari dan berpesta malam tadi, satu tenda di depanku diisi empat orang pencinta alam yang sudah ada sebelum aku sampai disini kemarin siang. Lalu satu tenda di sebelah kanan dekat dengan jurang agak jauh dari tendaku. Sejak sore tak terlihat siapa yang mengisi tenda ini bahkan tak ada bekas pembakaran atau semacamnya. Tenda type dome berwarna biru dengan kapasitas dua orang ini. Kurasa yang mengisi tenda ini adalah sepasang kekasih atau suami istri yang sedang menikmati indahnya pengalman bercinta diatas ketinggian 2221 meter diatas laut.

Hamparan tanah datar dan semak belukar, tak banyak pepohonan diatas sini. Pagi ini aku akan pulang. Dunia sumbar dibawah sana sudah memanggilku untuk menunaikan kewajiban sebagai ploretariat.

“kresek~ kresek~” lamat lamat suara semak belukar terdengar di sebelah kanan dekat dengan jurang. Seorang gadis dengan jaket berbahan denim dan celana tactical datang menerobos  semak belukar  itu. Sebuah kupluk berwarna pink dan T-shirt biru dongker yang senada dengan jaket denimnya tampak cocok digunakan oleh gadis ini. Matanya tertuju kearahku, langkahnya pun tetiba mengarah kemari. Sembari menggenggam sebuah lampu senter berbentuk lentera.

            “sendiri aja mas?” gadis itu menghampiriku sambil menyapa basa-basi, bibirnya menyungging senyum yang manis sekali.

            “iya… udah bangun aja mbak? Nunggu sunrise?” jawabku sembari  menawarkan duduk di tikar seadanya.

Gadis ini tertawa kecil mencairkan sedikit suasana, tawanya begitu renyah dan anggun layaknya gadis kelas atas. “iya nih mas… dingin jadi gak nyenyak tidur hehehe” tawa ringannya yang ranum dengan pose tangan yang menutupi bibir merah mudanya yang natural gadis ini benar benar manis tak tertahankan. “iya mas kepalang bangun sekalian aja nunggu sunrise, mas sendiri udah bangun aja, nunggu sunrise juga?”

“nggak mbak… lapar aja jadi kebangun hehehe” timpalku dengan lugu sembari menawarkan mie instan rasa kari yang kuracik sembari berbicara dengannya “atau mau kopi mbak? Ada capucino, kopi hitam, wedang jahe, bandrek juga ada. Hehehehe” tawarku sembari mengakrabkan diri.

“wah… kayak tukang asongan aja mas… segala ada hehehehe. Boleh deh bandreknya mas…” jawabnya menimpali tawaranku. “kesini sendiri aja mas atau sama rombongan?”

“sendiri mbak… pengen refreshing aja… hehehe, mbak sendiri, kesini sendiri? Apa sama temennya?” sembari mengaduk gelas yang berisi bandrek sachet hangat.

“sendiri mas… sama, saya juga lagi refreshing sumpek sama skripsi yang gak kelar kelar hehehe” ternyata gadis ini mahasiswa tingkat akhir, bila dugaanku benar berarti umurnya dua tahun dibawahku. “wah… terima kasih mas… maaf jadi ngerepotin… hehehe” sahutnya menerima segelas bandrek yang kuseduhkan di dalam gelas besi berwarna kuning dengan tulisan I love you.

“jangan sungkan sungkan mbak… hehehe, wah… mbak ini mahasiswa ya… semangat mbak skripsinya, saya juga dulu kalo udah sumpek sama skripsi sama kok, larinya muncak… hehehehe.”

“lho… aku kira masnya masih kuliah juga sama kayak aku. Ternyata udah lulus ya… hehehehehe jadi malu.”

“baru lulus dua tahun mbak… santai aja… masih ngerasa mahasiswa malahan… hehehe”
            waktu menghipnosis kami berdua, berbincang tentang pekerjaan, perkuliahan, hingga pada akhirnya kami saling membicarakan diri sendiri. Saling terbuka dan berbicara tentang kehidupan pribadi, seperti teman lama yang baru bertemu setelah sekian tahun lamanya. kami saling berbicara ngalor ngidul dihadapan kayu bakar yang semakin meredup menjadi abu. Entah perasaanku atau memang begitu adanya. Ini kedua kalinya aku berbicara seceria ini dengan lawan jenis. Gadis ini, mirip dengan elliana.

“mas bukannya ini hari kerja ya? Mas ambil cuti? Apa jangan jangan… bolos ya… hayo…” dia tertawa selepas bertanya, tawa yang lembut dan manis begitu indah dan bercahaya seperti bulan purnama.

Aku bingung, harus kujawab dengan apa. Sejenak aku memandangin pembakaran dihadapanku kayu bakar yang lambat laun terkelupas menjadi abu. Bau asap dan kopi yang menyengat menusuk hingga ke amigdala. Perlahan bibirku bergerak, dengan suara yang sedikit serak.

“aku dipecat dari perusahaan, tiga hari yang lalu, dengan tuduhan yang tak pernah ku lakukan.” Entah kenapa emosiku berkecamuk luar biasa, marah, sedih, dendam dan penyesalan. Semuanya menyatu.

“e… maaf ya… aku gak bermaksud. Aku gak tau kamu punya masalah seperti itu.. maaf ya” matanya memandangku dengan penuh rasa bersalah, cara bicaranya pun terbata-bata. Entah dingin pegunungan atau apa yang membuatnya mengusap ngusap tangannya sembari tertunduk.

“santai aja… aku mungkin memang harus membagi masalah ini dengan seseorang, setidaknya aku butuh teman bercerita.” Senyumku yang penuh kepasrahan dan fakir menyungging dihadapan wajahnya yang manis.

“iya… boleh… masalah emang harus di bagi…hehehe” lagi lagi gadis ini berbicara penuh dengan semangat dan empati. Sama seperti dia.

“dunia ini emang biadab, sebaiknya kamu hati hati ketika masuk dunia pekerjaan. Tuduh menuduh, saling menjatuhkan, hal hal kotor sudah biasa di tempat gelap seperti itu. Jika ada kesempatan untuk merubah satu hal dari dunia ini. Hal kotor seperti itu yang akan ku ubah.” Entah apa yang ku ocehkan, mungkin hanya rengek anak kecil yang kesal karna permennya telah dicuri.

Malam yang muram tanpa sadar mengarahkan arah pembicaraan kami. Entah apa yang ada dipikiran gadis bermata indah dihadapanku ini. tiba-tiba kami terhipnotis dan saling berbicara soal pekatnya hidup.

“kamu pernah gak ngerasa kalau hidup itu terlalu memaksamu?”gadis dihadapanku bertanya dengan matanya yang berbinar seperti mutiara yang dipingit dua ratus tahun oleh kerang paling bijak di lautan. “buat aku yang sejak kecil diatur dan dibatasi orang tua, hidup ini terlalu mengekang dan mebatasiku. Tak adil dan pengap.”

“tentu. Aku pun merasa seperti itu. Hidup ini bajingan ya, dia memaksamu untuk melakukan ini dan itu, memaksamu untuk jadi ini dan itu. Tapi setelah kamu mengikuti kemauannya, justru dia akan jadi mahluk pertama yang menghantamkan wajahmu ke realitas sesungguhnya. yang lebih pahit dari benda apapun yang berasa pahit didunia ini.” Bibirku bercuap tiba-tiba mengeluarkan segala penyesalanku.

“hahahaha sepertinya disini ada dua manusia gagal yang dicampakan kehidupan.” Entah kenapa kata-kata yang mestinya menusuk itu kuterima dengan segala kelapangan di dada. Seolah aku telah menyerah dengan semua masalah yang ku alami.

“ kalau kamu bisa memilih antara hidup atau mati. Atau dilahirkan kembali dengan identitas baru dan tempat baru. Apa yang kamu pilih?” pandangan gadis itu kosong menatap api yang semakin kecil. Matanya hampa di tengah cahaya remang-remang dan angin dingin yang menusuk hati.

“jika memang bisa memilih. Aku lebih memilih terlahir kembali untuk mengulangi dan memperbaiki segala kesalahan di masa lalu.” jawabku mantap dengan mata yang memandangi debu perapian sisa kehangatan kami.

“tapi kehidupan ini sumbar. Andai saja aku bisa merubah realita. Dan hidup kembali di masa lalu” entah apa yang merasuki ku saat itu, menatap langit yang kejinggan dengan kepedihan dan kesedihanku.

“ya… kamu betul. Tapi… menurutku kita masih bisa mengubah naskah kehidupan… menurutmu apa kita bisa merubah masa depan?” matanya tiba tiba bercahaya begitu benderdang. Sekilas aku bisa merasakan sebuah harapan dari binar matanya yang bercahaya.

Pertanyaannya hanya ku jawab dengan senyum dan mata yang tertuju pada langit jingga. Pertanyaan  simple darinya telah mendatangkan matahari terbit baru di hatiku. Harapan.

“eh liat… udah mulai sunrise tuh… bagus banget!” tak terasa percakapan kami begitu panjang sampai matahari terbit di sebelah timur. Api dari kayu bakar pun sudah padam menyisakan debu kesombongannya yang membakar kayu menjadi abu, dua pasang gelas besi, sebuah mangkuk kotor dan kami berdua yang mungil di tengah luasnya dunia.

Aku berdiri dari posisi dudukku sembari membersihkan celana bagian belakang. Mengembangkan cuping hidung dan menarik nafas dalam-dalam. “andira!?” sahutku menolehkan wajah pada gadis bermasalah di belakangku. Sembari mengulurkan tanganku padanya. “ayo kita bangkit masih ada hal yang belum kita lakukan! Hidup akan lebih indah bila kita bisa saling membantu! Jadi!, ayo bangkit bersama!” sahutku begitu lantang dan menggema di udara. Gadis yang baru kutemui dua jam yang lalu ini. Telah membuka lembaran baru dihidupku. Matanya masih tetap indah dan cerah berbinar seperti permata.

Kepalanya mengangguk kecil dengan senyum paling manis, dan mata indahnya pun Nampak berkaca-kaca “ya. Timur?” sembari menggapai tangan yang ku ulurkan dia menyebut namaku “namamu timurkan?” aku hanya mengangguk dan tak melepas senyum sedikit pun. “kini, aku melihat harapan yang sangat jelas dihadapanku. Dihadapanku kini ada dua mentari yang terbit dari kegelapan. “Timur, ayo kita bangkit bersama!” senyumnya merubah pandangan hidupku. Semesta memang memiliki cara untuk menyelamatkan manusia. tuhan… jika dirimu berkenan mengabulkan permintaanku kali ini. Aku mohon.

“ya, andira. Mari kita bangkit kembali.”

Mentari pun bersinar dengan cerah temaram. Lembaran baru dan cerita baru. Lima tahun yang lalu, seorang gadis paling ceria telah merubah hidupku. Seperti mentari pagi yang melahap kegelapan. Jauh di atas sini. Kabut yang berseliweran dan langit yang bergulung awan. Tempat ini sudah dua kali menyihirku. Tempat yang di sebut mistis oleh banyak orang. Ya, tempat ini memang mistis. Karena, dengan kemistisannya tempat ini telah dua kali merubah hidupku.

Komentar

Postingan Populer