kisah tentang manusia #3
Pertemuan
II
Perjalananku
berlanjut. Menapaki jalanan semu yang penuh dengan hijau dan coklatnya pegunungan.
Ragaku bersatu dengan alam dan angin sejuk dataran tinggi. Angin pegunungan
yang penuh dengan embun dan kabut. Membawa gelisah dan rasa penyesalan yang
menumpuk di amigdala. Dunia nyata memang menyesakkan seberapa keraspun kau
mencoba kokohnya dinding kenyataan tak akan hancur seperti batu kali yang
berada di hadapanku. Lumut yang menempel diatasnya sebuah bentuk keputus-asaan
angin dan cuaca yang tak pernah bisa melumatnya menjadi tanah.
Cerminan
wajahku yang buram di dalam genangan air dan dunia yang tampak bisu tak
bersuara. Semua sempurna menggambarkan kenistaan dunia fana ini. Entah mengapa
manusia dituntut harus hidup secara berkelompok dan saling mengandalkan. Bila
semua itu dilandaskan asas mutualisme dunia ini akan menjadi harmoni paling indah.
Tapi manusia selalu mengutamakan nafsu dan keserakahan, yang kuat yang menang.
Diatas kita terbawa angin dibawah kita merangkak seperti ulat yang sekarat.
Lalu,
apa peranku?. Jika kehidupan manusia adalah sebuah harmonisasi dari alam
semesta. Kurasa aku hanyalah kepik sekarat yang meringkuk di pinggiran kubangan
sana. Lemah, cacat dan tak berdaya atas megahnya semesta. Tapi lucu juga
manusia tidak saling membantu seperti kepik sekarat yang di kerubuni kepik
lainnya itu. Manusia malah bangga ketika berhasil menyingkirkan manusia lain
yang ia anggap penghalang.
Sejalan
dengan langkahku, mentari pun mengikuti, kini dia berada di atas kepalaku. Tak
terasa waktu semakin menyempit. Terik mentari menguliti tubuhku yang basah oleh
keringat. Angin yang berhembus sedikit demi sedikit menghela panas dan bau
tubuhku. “sebentar lagi.” Aku bergumam sendiri menapaki batu dan tanah
kecoklatan yang keras. Kota semakin kecil dari sini. Seperti miniatur yang bisa
kapan saja kau atur sesuka hati. Mobil dan kendaraan bermotor lainnya seperti
semut yang berseliweran mencari gula.
Sesampainya
di puncak. Aku memandangi sekitar, bernostalgia dengan suasana indah kala itu.
Disini tidak terlalu banyak pendaki di depanku ada sekelompok pendaki dengan
jaket parka dan carier seragam kelihatannya mereka sekumpulan pemuda pencinta
alam. Salah satu diantaranya mengibar ngibarkan sebuah bendera merah putih yang
katanya pusaka. Aku tersenyum melihat kebersamaan pemuda-pemuda itu. Sembari
berteduh dan bersandar disebuah batu besar yang dinaungi beberapa pohon.
Dedaunan
hijau semakin melambai dan membelai angin yang lalu lalang dari sudut ke sudut.
Udara semakin sesak dan suhu meningkat. Tak seperti tadi pagi, tak ada
sedikitpun kabut atau awan disini. Semuanya jelas dan cerah hanya gumpalan
putih dari kejauhan yang terlihat. Kali kedua aku menapaki tempat ini.
Harmonisasi alam yang tetap sama pikirku.
Dari
sini sebuah buku catatan dan pena ku tarik dari dalam carierku, sebuah buku
catatan berwarna hitam, dengan tulisan note di tengah sampulnya. Sejenak
kupandangi sebuah foto yang terselip di sela sampul buku. Seorang gadis yang
telah terbang terlebih dahulu satu setengah tahun yang lalu.
Kupandangi langit yang bersih. Kuhirup udara segar
dari atas sini. Bersandar di sebuah batu besar, aku mulai menulis sebuah puisi
untuk gadis di foto itu.
Untuk
elliana jauh dibawah
Reranting dan dahan
pohon masih kokoh seperti dahulu.
Akasia yang merayu mu dan
angin yang dulu kau keluhkan pun masih ada
Aku ingin kembali bersama
Dalam hangat api unggun
Dan segelas kopi yang
kau seduh tuk kita berdua
Kepakan sayap sang
elang yang berenang di luasnya samudra biru angkasa
Dan gemulan ombak putih
yang berpacu dengan cakrawala
Aku ingin kembali
berdua
Menikmati mentari senja
dan berpacu dengan waktu yang mengutuk usia
Aku
menanti dan akan terus menanti
Hingga
malam nanti menangkapku dengan mesra
Dari
timur 2019- kawah ratu
Dari atas sini udara
begitu kencang dan harumnya sangat ramah. Sama seperti lima tahun yang lalu.
Pertemuanku dengannya diatas sini, bersama secangkir kopi yang ia seduh saat
malam itu. Berbincang tentang kehidupan dan dunia kampus. Kami berdua masih
muda kala itu dan masih penuh dengan ambisi sampai akhirnya kami sadar. Bahwa
waktu akan memisahkan kami seperti pisau yang membelah tambang. Kami tak bisa
kembali.
dua tahun yang lalu
tepatnya satu bulan setelah kami bertunangan, gadis itu tertidur lemas di
ranjang rumah sakit. Wajahnya yang selalu ceria, saat itu tiba tiba berubah
pucat padam. Senyuman selalu keluar dari bibir merah mudanya yang menawan. Kini
telah sirna ditelan meningitis yang menggerogoti gadis malang itu. Waktu terus
berlalu, segala upaya telah kami coba untuk menyelamatkan pengantinku. Tapi
tuhan tak adil kala itu. Pengantinku mati melawan ketidak adilan dunia ini.
Bersama dengan
perasaanku yang tertanam pada kertas ini.
Kuterbangkan puisi ini padanya. Pada elliana. Seorang gadis yang merubah
hidupku dua kali.
Komentar
Posting Komentar