catatan tentang kemanusiaan #2

 hai! rekan rekan pembaca yang berkenan membaca tulisan saya. kali ini di hari senin seperti biasa, saya akan membawa tema kemanusiaan. mari kita menelisik, apakah masih pantas kita disebut manusia?. ataukah sebutan yang lebih pantas bagi kita adalah spesies sombong yang kebetulan ditakdirkan tuhan untuk menapaki gundukan tanah yang penuh dengan anugrah ini.


seperti biasa juga, penulis akan memberikan sebuah lagu pembuka bagi rekan rekan pembaca agar lebih bisa menikmati tulisan penulis yang penuh kekurangan ini. lagu kali ini diadaptasi oleh sebuah puisi yang memiliki latar belakang yang kelam. berawal dari masa perang dunia kedua yang mana pada saat itu adolf hitler dengan segala idealismenya ingin menghapuskan berbagai ras lain selain ras arya. namun ada satu golongan yang paling dibenci oleh hitler, mereka adalah umat yahudi. yups penganut yahudi yang selalu memiliki sejarah kelam dengan tingkahnya yang juga kelam. lagu yang akan menemani rekan rekan pembaca ini dipopulerkan oleh joan baez, dengan judul Donna Donna. lagu yang juga populer diindonesia karena dimainkan oleh Sita Nursanti dalam film biografi soe hoek gie. baik langsung saja kita baca dan dengarkan lirik dari lagu tersebut.


on a wagon bound for market

there's a calf with a mournfull eye

high above him there's a swallow

winging swiftly through the sky


how the wind are laughing

they laugh with all their might

laugh and laugh the whole day through

and half the summer night


donna, donna, donna, donna

donna, donna, donna, don

donna, donna, donna, donna

donna, donna, donna, don


"stop complaining" said the farmer

who told you a calf to be?

why don't you have wings to fly with

like a swallow so proud and free?


how the wind are laughing

they laugh with all their might

laugh and laugh the whole day through

and half the summer night


donna, donna, donna, donna

donna, donna, donna, don

donna, donna, donna, donna

donna, donna, donna, don


how the wind are laughing

they laugh with all their might

laugh and laugh the whole day through

and half the summer night


calf are easily bound and slaughtered

with never now is the reason why

but whoever treasure freedom

like a swallow has learned to fly

like a swallow has learned to fly




 

sudah dibaca dan didengar?. jadi bagaimana perasaan rekan rekan semua?. yup lagu ini memiliki sebuah mistik tersendiri. menggambarkan seekor anak sapi yang bodoh dan tidak mengerti apa apa. di ternak untuk dibunuh, seolah ditakdirkan untuk mati. dan tanpa kita sadari, hal ini pun terjadi pada manusia. nyawa yang hanya kita miliki satu ini, bagi beberapa kalangan memang tidak berharga dan tidak ada artinya. meaningless and worthless bagi beberapa kalangan nyawa manusia hanya menjadi tumbal untuk kemenangan dan kerakusan. berapa banyak korban nyawa akibat peperangan di timur tengah sana? masih bisakah kita menghitungnya dengan jumlah jari jemari kecil kita yang penuh dengan noda darah?.


bukan hanya peperangan, atas nama kerakusan, banyak manusia menggerogoti tubuh saudaranya. menggunakan uangnya sewenang wenang hanya untuk mempertebal lapisan lemak dibawah kulit. sementara dirumahnya yang mewah dikamar tidurnya sudah tersedia selimut tebal dan perapian yang bisa menghangatkannya kapanpun. dibalik kemewahan yang berkilauan itu, berapa banyak mayat yang depresi tanpa pekerjaan, tanpa makanan, tanpa rumah meraung raung kesakitan meminta jatah makan yang tidak akan pernah datang. pada titik ini, apakah kita masih bisa menyebut diri kita sebagai mahluk berprikemanusiaan?, jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang, tanyakanlah pada nurani kita yang kotor terhalang kedenkian.


pada hal yang lebih kecil lagi. dimasa yang penuh dengan rasa gengsi ini, banyak orang tua dan guru menyetir anak anaknya seenak hendaknya. mengukir tubuh polosnya menjadi apa yang mereka mau. hoek gie pernah berkata "guru bukan dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau" perkataan hoek gie ini tidak semuanya salah. terkadang orang yang lebih tua mengatur orang yang lebih muda atau lebih rendah jabatannya seenak hati. tanpa pernah berfikir apakah ini yang terbaik dan paling benar untuk orang tersebut. banyak anak yang hanya di setir oleh orang tua untuk mewujudkan mimpi lamanya yang tidak pernah tercapai. hal ini pun tidak sebenarnya salah, namun masih bisakah kita mempermainkan manusia seperti ternak yang bahkan dia tidak mengerti akan menjadi apa dia dengan jalan yang diarahkan kepadanya itu.


kembali kepada kisah peperangan. yang manusia buat demi mewujudkan taman eden atau taman firdausnya di bumi yang fana ini. hanya demi mementingkan egoisme sepihak, manusia rela menukarkan kewarasan dan kemanusiaannya untuk mencapai kemenangan. dunia dimana yang paling kuatlah yang menang. pada akhirnya yang diwujudkan oleh orang orang tersebut bukanlah, sebuah utopia melainkan kebalikannya, distopia, sebuah dunia, dimana anak anak menangis kelaparan disamping ibunya yang telah kehabisan darah sementara bapaknya telah lama terkubur menjadi fondasi egoisme manusia. dengan alibi atas nama agama, dan kemanusiaan manusia pun mampu mencemooh tuhan hanya untuk meraup keuntungan setinggi tingginya. namun kemanusia mana yang rela membunuh saudaranya sendiri yang tak bersalah dan hidup sederhana dengan baju yang compang camping ditengah tanah yang dilapisi emas.


suatu ketika disebuah negri di pulau nun jauh di timur. hiduplah sebuah suku yang hidup sederhana dan penuh kebahagiaan. seluruh penduduk suku hidup dengan penuh senyum dan rasa syukur atas nikmat tuhan yang maha kuasa. penduduk suku tersebut memiliki warna kulit yang gelap, dan memiliki kebiasaan peribadatan agama yang sangat kuat. suku tersebut dipimpin oleh kepala suku yang sangat baik dan bijaksana. seluruh penduduk hidup berkecukupan dari hasil panen yang melimpah. "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" begitu sebut salah seorang pelancong yang sangat cinta kepada penduduk suku dan pulau yang mereka tempati. keindahan alam yang eksotis dan suburnya tanah yang mereka tempati hingga pohon apel pun mampu tumbuh di pasir pesisir pantai.


pada suatu hari yang sangat tenang datanglah sekelompok orang yang datang membawa berbagai barang dengan kapal yang sangat besar dan megah. mulanya penduduk suku pulau tersebut sangat senang dan menerima para pelancong itu dengan sangat ramah. pelancong itu juga memberikan berbagai barang kepada pribumi sebagai rasa terima kasih atas jamuannya. mulanya para pelancong itu curhat bahwa mereka diusir oleh pemimpin didaerahnya karena memiliki agama yang berbeda, pelancong pelancong itu menyampaikan bahwa mereka sangat membutuhkan tempat tinggal. sudah satu tahun lebih mereka mencari pulau yang bisa mereka huni. namun hanya pulau tersebut yang cocok bagi mereka. ketua para pelancong itu pun akhirnya meminta izin untuk diperkenankan untuk tinggal di pulau tersebut dengan imbalan para pelancong tersebut siap bekerja bagi para penduduk pribumi. alih alih menolak, penduduk pribumi justru merasa bahagia karna ada tetangga baru yang mau bergabung dipulau kecilnya yang amat subur. kepala suku pun menerima para pelancong atas perizinan seluruh penduduk, tanpa perlu meminta imbalan tenaga mereka, bahkan sebaliknya para penduduk pulau tersebut malah membantu mereka mendirikan peradaban di pulau tersebut.


pada awalnya mereka hidup rukun dan damai hingga suatu hari seorang pemuka agama pelancong, berkhutbah bahwa para penduduk di pulau tersebut adalah titisan iblis karena mereka memiliki kulit hitam seperti arang dan hidup di tanah yang terpencil namun sangat subur. banyak pelancong dan percaya dan mulai memusuhi penduduk pribumi, meski begitu penduduk pribumi tidak marah maupun dengki kepada orang orang berkulit putih itu. tidak sampai disitu sejak saat itu diskriminasi terus menerus terjadi hingga berjatuhan korban dari pendudk pribumi. puncaknya adalah ketika seorang ilmuan pelancong menemukan bahwa di tanah dan gunung yang terdapat di pemukiman penduduk pribumi itu terdapat sumber emas yang sangat banyak sekali. bahkan hampir seluruh pulau tersebut dilapisi oleh emas. ahli keuangan pun menyarankan untuk mengadakan penambangan emas agar negara kecil mereka bisa makmur dan bisa menjadi bangsa besar yang berdikari tanpa bantuan dari negara manapun.


pemimpin para pelancong yang kalap oleh silaunya emas pun mulai menyiapkan berbagai propaganda mengenai berbagai macam keburukan kaum pribumi. dan menggiring opini masyarakat pelancong untuk memerangi para pribumi. hingga puncaknya, warga yang tersulut perkataan pemimpinnya mulai mengambil senjata yang sudah lama mereka simpan. dengan alibi agama, stigma, stereotipe dan propaganda lainnya. para pelancong mengacungkan senjata api mereka dan membunuh satu persatu warga kulit hitam penduduk asli pulau itu, tanpa perlawanan, tanpa serangan balik. para pelancong mampu menghabisi hampir seluruh masyarakat pribumi pulau itu dalam hitungan satu hari. di hari esoknya seluruh pribumi yang tersisa dipaksa bekerja menambang emas dan menjadi babu dari para pelancong yang awalnya menawarkan tenaga mereka kepada para pribumi. bahkan yang lebih menyayat hati adalah seluruh pelancong menyebut masyarakat pribumi sebagai monyet, atas perintah sang pemuka agama yang telah mabuk oleh kepingan emas. sejak saat itu kita tidak pernah lagi mendengar lirik "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" lagi, namun yang kita dengar adalah "kasih simpati dan empati jadi jerit dan tangisan." pulau itupun menjadi bangsa paling digdaya di dunia.


dari kisah tersebut bisa kita dapatkan pelajaran, bagaimana masyarakat pelancong yang tidak tahu apa apa digiring untuk menjadi penjagal. dan para pribumi menjadi ternak yang sangat montok bagi para petinggi tukang jajah yang rakus dan mirip iblis berkulit putih itu.


in the end.

masihkah kita bisa menyebut diri kita sebagai manusia. dengan darah yang bersimbah ditelapak tangan kita?.


CHERIOOO!!!

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer