kisah 1 : tentang hidup yang munafik
Syahdan terkisah, ketika matahari sejajar dengan ubun ubun. Di
alun alun kota samas, di bawah pohon ek tua. Lelaki tua berponco coklat dan
topi bundar tengah bersandar menikmati udara yang mengalir tak berbayar. Udara kota
syamas sangat damai dan tentram suara gaduh masyarakat dan bisik angin yang
berhembus sesekali, keletuk sepatu kuda yang menempa bumi. Sang pendongeng
terlelap dalam buaian orchestra amatir, beberapa waktu ia terlelap dalam tidurnya
bagai diselimuti oleh peri, senyumnya sangat sederhana. Hingga sentuhan pada
bahu membangunkan dirinya dari mimpi pada siang hari di musim gugur. Di hadapannya
berdiri seorang pemuda dengan baju merah berrenda kuning, rambutnya pirang dan
wajahnya tampan. Ia adalah putra mahkota Damas, pangeran louie shue shue ke-19.
Pangeran itu pun duduk di bangku taman dan memandang langit yang cerah, sebelum
memalingkan wajah.
“hey pak tua, bukankah hidup itu penuh dengan kemunafikan?”
sang pangeran mengajukan pertanyaan sembari menatap langit.
“hohohoho begitukah yang tuan muda pikirkan?” pak tua itu
merapihkan bajunya yang ditumpangi daun daun kering.
“bah! Sangat lucu! Kau tahu? Siapa yang lebih munafik dari
kehidupan? Dia adalah Tuhan! Kau tau, aku membenci segalanya, dalam ajaranku
Tuhan menuliskan naskah kehidupan dan hidup ini sudah berjalan sesuai
kehendaknya, hidup. Mati, harta, kesakitan, kesenangan, cinta, keluarga dan
segalanya sudah ia tuliskan dalam sebuah buku tebal.” Sang pangeran menjeda
perkataanya dan mencoba menarik nafas.
“bahkan udara yang ia ciptakan agar manusia bisa hidup ini. Kau
tahu kita tidak bisa hidup tanpa udara tapi karena udara, seluruh tubuh kita
menua dan melemah. Hah! Kenapa Ia sangat munafik terhadap ciptaannya? Ia yang
menakdirkan jodoh tetapi kenapa, ia menghadirkan perasaan cinta pada selain
jodoh yang telah ia tentukan.” Lelaki itu menarik nafasnya lebih panjang, dan
mendengus penuh kesal.
“anak muda, pernahkah kau menatap dirimu dalam air?” lelaki
tua itu memperbaiki posisi duduknya.
“hah… pak tua, apa maksudmu, katakana saja secara jelas, aku tak mau mendengar pertanyaan filosofismu.”
“hohoho kalau begitu. Katakanlah padaku, apa yang membuatmu
bertanya Tanya seperti ini.”
“Pak tua pendongeng, apa itu hidup? Mengapa hidup sangat
munafik? Sampaikanlah padaku wahai orang dari negeri dibalik awan yang telah
lama musnah.” Dengan mata yang membara lelaki itu menatap wajah sang pendongeng
sangat mantap.
“dari kisah orang orang kuno yang murtad dari perbintangan.
inilah cerita tentang orang orang yang mem-bid'ah kan diri dari ajaran bintang!
Wahai tuan muda, izinkan aku menceritakan kisah ini. Kisah tentang salah satu
raja terdahulu di negeri yang jauh di balik awan,.” Pak tua itu pun mengambil
biolanya dan menggesekkan senar C dengan bow.
“dahulu sekali, jauh di sebuah negeri di balik awan, negeri
yang begitu makmur dan penuh dengan keteraturan. Rakyatnya begitu tentram dan
sentosa. Kerajaan yang tak terkalahkan dan tak pernah menaklukan kerajaan lain.
Negeri yang dipimpin oleh raja raja yang bijak. Terkisahlah, salah satu raja
yang begitu tegas dan sangat memimpikan masyarakat yang madani.
Seorang raja yang sangat dikagumi
dan begitu disanjung. Orang orang menaati titahnya dan sangat mencintai ia. Segala
hal yang ia perintahkan selalu atas dasar kebersamaan,keadilan atas nama Tuhan
dan kemanusiaan. Raja dari segala raja. Yang membawa masa masa paling jaya atas
negeri yang paling makmur tersebut.
Namun suatu ketika sang raja
tersadar akan sebuah hal. Apakah semua yang ia lakukan benar benar atas nama
Tuhan dan kemanusiaan? Ataukah atas dasar nama baik dan hasrat ingin dikenang. Sang
raja berfikir begitu keras dan begitu keras. Namun ia tidak mendapatkan hasil
dari buah pikirnya.
Ia merasa bangga dan senang ketika
rakyatnya memuji kehebatanya, ia benci ketika rakyatnya lapar, ia benci ketika
melihat Negara lain menyerangnya, namun juga enggan menyerang atau membunuh
lawannya. Ia tidak suka melihat kecurangan dipasar lalui ia menerapkan hukum
dagang yang jelas, ia tidak suka melihat rakyatnya terdampak bencana alam, lalu
ia menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk membangun kembali pedesaan yang
hancur, akibat letusan Gunung synox, Gunung terbesar yang pernah ada.
Namun dilain sisi, ia membuat
patungnya diseluruh penjuru negeri, ia benci ketika orang orang lupa kepadanya,
ia memerintahkan para penulis untuk mengarang kisah tentang dia atas dasar
sebagai pembelajaran bagi penerusnya, ia menciptakan berbagai hukum namun
secara sembunyi sembunyi ia melanggar dan mengutuk hukum yang ia buat.
Hingga akhir hayat negeri nun jauh
di balik awan. Seluruh rakyatnya memujinya sebagai pahlawan dan mengenangnya
dengan berbagai patung dan pahatan. Namun, hingga akhir hayat sang raja, ia
hanya mengucapkan satu hal yang tak pernah dikatakan kepada siapapun kecuali
istrinya. Ucapan terakhir sang raja bukanlah titah maupun pesan ucapang
terakhirnya adalah penyesalan. “sayangku, betapa munafiknya hidupku.”
Sayangnya hingga akhir hayat, tak
seorangpun kecuali istrinya yang tau akan hal itu. hingga kini puing puing
keagungannya masih tersisa di reruntuhan kerajaannya yang megah. Wajahnya yang
tampan. Begitu sombong menatap langit daiatas puing puing negerinya yang
hancur.” Sang pendongeng menghentikan permainan biolanya. Dan menarik nafas
sejenak.
“tuan muda. Bukan Tuhan ataupun hidup yang munafik, namun,
kita harus berkaca kepada diri kita. Apakah sejauh ini. Kita benar benar hidup
tanpa kebohongan dan kepura puraan. Apakah sejauh ini hidup kita tanpa bayang
bayang seseorang namun kita selalu meneriakkan kebebasan untuk menutupi bayang
bayang yang mengarahkan diri kita. Tuan muda, hidup adalah tentang seberapa
jauh dirimu mensyukuri nikmat Tuhan. Aku harap kau mengerti.” Sang pendongeng
itu pun merapihkan biolanya lalu kembali ke rumahnya di kaki gunung, tempat
para peri memuja Tuhan setiap waktu.
***
#kmp4diarpus #kmp2021 #abadidalamfiksi
Komentar
Posting Komentar