Perihal waktu

Disini, diriku yang dungu duduk bersama angin yang hangat Dan udara kering yang dingin. Sebuah bangku taman di pojokan yang selalu kosong Dan berdebu. Semuanya nampak jelas disini. Anak kecil yang tertawa berlarian, anak anak muda yang berlatih silat Dan karate, Seorang anak yang ceria di genggaman hangat kedua orang tuanya. Semuanya begitu indah. Langit yang tertutup awan, Angin yang berlarian dari sudut ke sudut, kehangatan manis yang terus berpijar.

Langit kian beranjak, aku berjalan bersama daun yang berguguran. Angin Kian berkesah. Karna mentari mulai terlelap. Wajahnya yang setengah pucat ter-engah engah dalam selimut putih yang Tak pernah lepas sejak pagi. Langit senja mengantarkan merpati menuju rumahnya. Reranting Dan bunga berserakan dijalanan. Sayap kekupu Dan kecupan hangat sang daun menemani langkahku.

Langkah kaki mengantarku hingga ke sebuah masjid yang megah Dan Tak pernah sepi pengunjung. Di hadapan masjid yang megah itu taman lain terhampar dengan jelas. Kursi kursi taman yang dipenuhi pasangan dara yang kasmaran. Sebuah kotak bacaan berisi buku-buku berbagai genre membeku dihadapanku. Jendelanya yang berdebu Dan buku-buku yang masih baru namun lusuh berkesah kepadaku. Sebuah buku bertanya tentang tujuannya diciptakan. Buku lain mengeluh tentang debu Dan warga yang lalu lalang. Dinding kotornya nampak sedih Dan sendu.

Waktu Dan cuaca telah membelenggu mereka. Terpaku menghadapi dunia kusam yang semakin membatasiku. Jalanan diluar masih nampak jelas. penuh dengan rumput kering. Keparauan cuaca Dan kesedihanku terhadap waktu yang semakin mencemaskan.

Mentari telah berlarut. Bahkan selimut putihnya telah hilang. Sore ini penuh kekosongan. Waktu Kian mengejarku. Wajahnya yang beku dan tangan dinginnya menyambutku untuk ke-dua puluh kalinya. Lambaian jubahnya semakin menciptakan stigma bagiku. Namun waktu masih saja seperti itu. Mengejarku Dan terus mengejarku.
Hingga pada akhirnya
Kita semua lupa
Berapa lama Kita hidup

Komentar

Postingan Populer